Pernah nggak kamu disuruh menebak sesuatu, tapi kamu tahu kamu nggak bisa benar-benar yakin? Misalnya, kamu mau beli baju online, tapi cuma lihat ukuran dan review dari lima orang. Kamu mulai menebak-nebak, “Ah, kayaknya ukuran M pas di aku.”
Nah, tebakanmu itu sebenarnya bukan asal-asalan. Kamu pakai data—ukuran orang lain, tinggi badan mereka, berat badan mereka—lalu kamu bikin keputusan. Itulah yang disebut estimasi.
Sekarang bayangkan kamu pengelola warung makan. Setiap hari kamu menebak berapa banyak nasi yang harus dimasak, biar nggak kelebihan dan nggak kekurangan. Kamu lihat data hari-hari sebelumnya: Senin ramai, Selasa sepi, Rabu biasa aja. Lalu kamu memutuskan, “Besok masak 10 liter nasi, deh.”
Tebakan itu dibuat berdasarkan pengalaman dan data. Tapi tetap aja, bisa salah. Bisa kurang. Bisa kelebihan. Nah, di sinilah pelajaran penting muncul:
Seakurat apapun tebakanmu, akan selalu ada batas seberapa tepat kamu bisa menebak.
Batas itulah yang dalam dunia statistik disebut sebagai batas Cramér-Rao.
Cramér-Rao adalah cara untuk berkata, “Kalau kamu udah jujur, nggak bohongin data, dan udah pakai cara yang masuk akal, maka ini batas terbaik yang bisa kamu capai.”
Balik lagi ke warung makan tadi. Kamu sudah ngitung dengan teliti, kamu tahu pola pembeli, tapi tetep aja ada hari di mana makanan sisa, atau malah habis terlalu cepat. Bukan karena kamu bodoh. Tapi karena memang selalu ada ketidakpastian.
Cramér-Rao mengajarkan bahwa ketidakpastian adalah bagian dari proses estimasi. Dan kadang, bukan soal menghilangkan ketidakpastian itu, tapi tahu apakah kita sudah berada di titik terbaik dalam menebak.
Lucunya, pelajaran ini bukan cuma berlaku buat statistik atau angka. Tapi juga berlaku dalam hidup.
Kita sering menebak perasaan orang, peluang diterima kerja, atau apakah ide bisnis kita akan laku. Kita ambil keputusan berdasarkan data, pengalaman, dan intuisi. Tapi meski udah hati-hati banget, tetap saja hasilnya kadang meleset. Bukan karena salah, tapi karena memang ada batas yang nggak bisa kita lewati.
Cramér-Rao bilang ke kita:
“Kalau kamu sudah pakai semua informasi yang tersedia, dan cara menebakmu jujur, maka kamu udah melakukan yang terbaik.”
Dan kadang, itu cukup.
Jadi, kalau suatu hari tebakanmu salah meski kamu udah berusaha, jangan langsung nyalahin diri sendiri. Mungkin kamu udah nyentuh batas Cramér-Rao-mu. Kamu tinggal belajar dari hasilnya… lalu lanjut menebak lagi, dengan lebih bijak.
Sering terjadi di keseharian kita,..
Bukan karena salah, tapi karena memang ada batas yang nggak bisa kita lewati.
Biasanya kita memang bertindak berdasarkan pengalaman kita atau pengalaman orang lain, maka sering disebut pengalaman itu adalah guru yang paling berharga. Walapun sudah direncanakan dengan sangat matang namun hasil akhir itu ketentuannya ada pada Tuhan kita, dan kita sebagai manusia harus menerima apapun hasilnya.
Kegagalan bukan berarti kita berhenti untuk mecobanya, Thomas Alva Edison sang penemu bola lampu pijar pernah mengalami ratusan kali kegagalan, namun, Edison sendiri tidak pernah menganggapnya sebagai kegagalan, melainkan sebagai pembelajaran, semangatnya yang pantang menyerah akhirnya menghasilkan sebuah karya yang bisa dinikmati dunia, yaitu bola lampu pijar. Sebuah Inovasi butuh waktu dan kegagalan – Edison sendiri pernah berkata, “Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil.”